Surabaya (ANTARA) - Perdebatan mengenai keaslian ijazah Mantan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah menjadi salah satu isu publik yang terus mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Topik ini tidak hanya ramai diperbincangkan di media sosial seperti YouTube, TikTok, Instagram, hingga X (dulu Twitter), tetapi juga menjadi sorotan di media arus utama baik portal berita daring maupun program diskusi di televisi.
Namun, di balik maraknya pembahasan, timbul pertanyaan mendasar, mengapa diskursus publik mengenai topik ini tak kunjung menemui titik temu. Mengapa masyarakat tetap terbelah antara yang menerima dan meragukan informasi yang beredar, meski wacana ini sudah lama bergulir.
Untuk memahami dinamika tersebut, kita bisa menengok pemikiran filsuf Jurgen Habermas tentang rasionalitas instrumental. Dalam bukunya The Theory of Communicative Action, Habermas membedakan dua pendekatan utama dalam komunikasi yaitu, rasionalitas instrumental dan rasionalitas komunikatif.
Rasionalitas instrumental melihat komunikasi sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks ini, pesan disampaikan bukan demi kebenaran atau pemahaman bersama, melainkan demi efektivitas atau pengaruh. Sebaliknya, rasionalitas komunikatif menekankan pentingnya dialog terbuka dan setara, yang mendorong pemahaman timbal balik dan verifikasi atas klaim yang diajukan baik dari segi fakta, ketulusan, norma sosial, maupun kejelasan makna.
Dalam banyak konten yang tersebar di media sosial, pendekatan instrumental tampak dominan. Konten dibuat dalam format video pendek, meme, atau podcast viral yang seringkali lebih menekankan daya tarik emosional ketimbang verifikasi informasi. Beberapa konten bahkan cenderung bersifat spekulatif, dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian audiens sebanyak-banyaknya entah berupa klik, share, atau komentar.
Fenomena serupa juga terlihat di media arus utama, terutama ketika isu ini dikemas dalam format debat terbuka di layar kaca. Banyak diskusi berlangsung dalam skema pro dan kontra yang kuat, namun tidak cukup memberi ruang bagi klarifikasi mendalam atau penyamaan persepsi. Para narasumber lebih fokus mempertahankan posisi masing-masing daripada saling mendengarkan atau membangun pemahaman kolektif.
Dalam pandangan Habermas komunikasi yang sehat harus memenuhi empat klaim validitas, yaitu kebenaran, ketulusan, normativitas, dan kejelasan makna. Keempat elemen ini menjadi fondasi bagi terciptanya ruang diskusi yang rasional dan saling menghormati.
Pertama, klaim kebenaran mengharuskan setiap pernyataan yang disampaikan memiliki dasar fakta atau bukti yang dapat diverifikasi. Dalam debat tentang isu ijazah, banyak narasi yang berkembang tanpa kejelasan sumber data, sehingga publik sulit menilai akurasi informasi.
Kedua, klaim ketulusan menyangkut motivasi dan kejujuran pembicara. Komunikasi yang sehat menuntut keterbukaan atas niat sebenarnya dari apa yang disampaikan. Namun dalam praktiknya, sulit menilai apakah narasi yang muncul berasal dari kepentingan politik tertentu atau dari keresahan yang tulus.
Ketiga, klaim normativitas berkaitan dengan apakah pesan yang disampaikan sesuai dengan norma sosial dan etika yang berlaku. Dalam konteks ini, perdebatan publik seharusnya diwarnai oleh etika diskusi, bukan saling serang secara personal atau menyebarkan prasangka.
Keempat, klaim kejelasan makna mengharuskan pesan yang disampaikan mudah dipahami dan tidak menyisakan ambiguitas. Tantangan muncul ketika argumen atau opini dikemas dalam bentuk potongan informasi, meme, atau konten viral yang menyederhanakan isu kompleks dan membuat publik kesulitan memahami keseluruhan konteks.
Dengan kata lain, absennya keempat klaim ini menjadikan diskursus seputar isu ijazah tidak produktif dan cenderung memperkeruh pemahaman masyarakat. Ini menjadi refleksi penting akan perlunya membangun kembali ekosistem komunikasi publik yang rasional dan inklusif.
Akibatnya, masyarakat justru kesulitan mendapatkan informasi yang jernih dan dapat dipertanggungjawabkan. Wacana publik lebih sering menjadi ajang adu opini daripada tempat bertukar ide yang membangun. Ini berpotensi menghambat proses pendidikan politik yang sehat di ruang publik, karena warga lebih terdorong untuk memilih posisi secara emosional ketimbang mempertimbangkan argumen secara rasional.
Dengan memahami kerangka rasionalitas komunikasi ini, kita bisa lebih bijak dalam menyikapi isu-isu yang beredar di ruang publik. Masyarakat sebagai konsumen informasi diharapkan dapat meningkatkan literasi media dengan cara memverifikasi informasi, tidak terburu-buru menyebarkan konten yang belum jelas kebenarannya, serta lebih kritis terhadap narasi yang beredar, terutama yang bersifat provokatif atau emosional. Peran aktif warga dalam membangun diskusi yang beretika juga menjadi kunci untuk menciptakan dialog yang sehat.
Di sisi lain, media massa dan pembuat konten memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk ekosistem komunikasi yang rasional. Media sebaiknya tidak hanya mengejar sensasi atau rating, melainkan menempatkan diri sebagai fasilitator diskusi yang mendalam, informatif, dan seimbang. Ini dapat dilakukan dengan menghadirkan liputan investigatif yang berbasis data, mengundang narasumber yang kompeten, serta menyediakan ruang yang cukup bagi klarifikasi dan pelurusan informasi. Dengan begitu, media berkontribusi dalam memperkuat rasionalitas komunikatif di tengah masyarakat yang makin kompleks dan dinamis.
*) Penulis adalah Mahasiswi Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid, Inadia Aristyavani